Rabu, 10 Februari 2010

Nasib Pembantu


Sedikitnya 125 Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Semarang mengalami berbagai kekerasan yang menyebabkan luka fisik maupun psikis.

Dari data Perkumpulan Studi dan Advokasi Anak Indonesia (Perisai) dari 125 PRT yang bermasalah tersebut sebagian besar adalah PRT anak. Mereka menjadi korban dari majikan, mulai dari perkosaan, penyiksaan hingga tidak dibayar.

“Dari hasil monitoring kami terhadap para PRT di Semarang jumlah PRT anak disemarang memang relatif banyak. Karena para majikan juga lebih memilih PRT anak karena menganggap mereka bisa dibayar murah dan mudah dieksploitasi,” terang Yani seorang pendamping PRT dari Perisai.

Dari kasus-kasus yang menimpa PRT tersebut tidak banyak kasus yang tuntas hingga pengadilan. Apalagi jika kasus yang menimpa terkait dengan tidak dibayarkan hak mereka.

“Rata-rata mereka tidak mau repot. Sehingga ketika tidak dibayar hingga berbulan-bulan mereka memilih keluar ketimbang melaporkan masalah tersebut ke Kepolisian. Apalagi mereka dengan latar belakang pendidikan yang terbatas tidak memahami mesti melaporkan kepada siapa kasus yang menimpa mereka itu,” urai Yani.

Satu kasus perkosaan yang menimpa seorang PRT dibawah umur yang sampai ke pengadilan juga tidak mendapat keputusan yang adil karena majikan hanya divonis 7 tahun penjara.

“Di hari PRT 15 Februari mendatang kami sudah berencana untuk melakukan hearing dengan DPRD Jateng untuk meminta adanya perda yang melindungi PRT tersebut. Karena kami menganggap PRT merupakan bagian dari warga negara yang wajib untuk dilindungi
Karena rentan permasalahan,” tambah Ketua Perisai Fatah Ova Muria.

Lirik-lirikan.....


Banyaknya atlit Jateng yang dilirik propinsi lain membuat Pemerintah Propinsi Jateng kalang kabut dan memberi bunus pada atlit-atlit asal Jateng yang berprestasi dalam Sea Games tahun lalu. Tali asih yang dijanjikan dua bulan lalu sebesar Rp.641 Juta dikucurkan Februari ini . Ada 27 atlit di 16 cabang olah raga yang mendapatkan tali asih tersebut.

“ Ini hanya masalah waktu saja bukan karena lama dan cepat tapi karena saya memang sibuk dan baru sekarang mempunyai waktu untuk memberikan bonus yang kami janjikan,” ujar Gubernur Jateng Bibit Waluyo.

Bibit mengaku mengetahui banyak tawaran yang diterima para atlit berprestasi tersebut. Namun dia tidak bisa menjanjikan banyak hal untuk mereka. Dan itu disayangkan Suryo Agung Wibowo atlit lari yang mendapat bunus Rp.80 juta.

“Sebenarnya bukan masalah uang yang kita permasalahkan namun pembinaan. Sekarang bisa dilihat setelah saya pulang tak ada sama sekali pembinaan buat saya, ya sudah saya ke Jakarta. Begitu juga dengan adik-adik dibawah saya, sama sekali tidak ada pembinaan jadi semua berhenti sampai disini,” ujar Suryo.

Senada dengan Suryo, Trianingsih atlit Atletik asal Salatiga juga merasakan hal tersebut. Dan kini Trianingsih tengah berpikir untuk menerima tawaran Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.

“Untuk tempat latihan saja, saya sudah pernah memberi masukan bahwa tempat latihan kami sangat buruk, apalagi jika musim hujan seperti ini. Tapi tetap saja tidak ada perbaikan,” ungkap Trianingsih.

APBD Jateng tiap tahunnya selalu menganggarkan puluhan milyar untuk pembinaan para atlit.. Tahun ini saja APBD Jateng untuk KONI mencapai Rp.21 M.

Wimpi


Mengapa kau abaikan rasa
Hatimu telah membeku
Tak mempedulikan aku
……


Suara Wimpi yang merdu mengalun sendu bersama petikan gitar yang dimainkannya sore itu didepan teman-temannya sesama penghuni LP Batu Nusakambangan. Wimpi yang berasal dari Indonesia Timur menciptakan lagu tersebut persis ketika dia dipindah di Nusakambangan.

“ Ketika saya dipindah disini maituwa (pacar) tidak mempedulikan, jadi tercipta lagu ini. Sedih ya,” ucapnya malu-malu.

Wimpi tidak sendiri para napi lain merasakan hal yang sama, tidak dipedulikan pasangannya ketika harus menjalani hukuman di Nusakambangan beberapa diantaranya harus rela diceraikan pasangannya.

“Aku tak pernah ditengok keluargaku. Bahkan kemarin aku terima surat yang mengabarkan aku sudah diceraikan,” ucap seorang napi kasus pembunuhan yang harus menjalani hukuman 20 tahun.

Karena itu aktifitas di luar sel menjadi saat yang membahagiakan bagi para napi.
“Kami bisa berolah raga, main musik maupun berternak. Suka-suka kita mana yang akan kita pilih untuk mengisi waktu. Karena saat yang paling berat adalah malam hari. Jika siang tak ada kegiatan, malam tak bisa tidur dan itu sangat menyiksa,” tutur Andi seorang narapidana yang bertubuh penuh tato.

Ketika menengok di sel nomer 1 LP Batu, seorang warga negara Nigeria bernama Nick tengah asyik membaca buku.

“Ini kesibukanku, membaca buku dan olah raga. Tak ada kegiatan lainnya. Karena keluargaku tak bisa menengok kesini. Prosedurnya sangat sulit. Berbeda dengan mereka napi pribumi,” keluh Nick terpidana mati kasus narkotika.

Tak sedikit para napi yang hilang akal. Mereka bagai patung dengan pandangan kosong tanpa ada suara meski disapa.

“ Dia membunuh tiga orang, dipenjara, diceraikan dan tidak dipedulikan keluarganya, padahal hukuman mati tengah menanti” ujar seorang napi sambil menunjuk temannya yang membeku didepannya.

Tak ada psikolog atau psikater yang membantu para napi stress ini mereka didiamkan hingga masa hukuman mati dijalankan.

“ Pendampingan psikolog dan psikater baru akan dilakukan mendekati pelaksanaan hukuman mati. Itu memang prosedur kami, Dan sebenarnya aktifitas rohani bisa mereka jalani untuk mengurangi stress” ujar Hari seorang penjaga LP Narkotika.

Di Masjid satu-satunya milik LP Narkotika yang berada ditengah taman LP terlihat hanya lima belas orang yang khusuk mendengarkan khotbah seorang napi yang dianggap ustad di LP tersebut selebihnya memilih berolah raga di lapangan samping Masjid.

“Tak ada paksaan dalam beraktifitas. Jadi itu tergantung mereka,” jelas Hari lagi.

Pukul tiga sore, saat makan bagi para napi. Sebuah gerobak berwarna coklat yang telah kusam didorong dua napi berseragam biru. Ketika ditengok terlihat beberapa lalat hinggap diatas nasi yang ditaruh dalam tempat plastik yang sudah rusak.

Nasi berwarna kusam,Sop daun kol, tumis tempe dan kacang hijau menjadi menu mereka sore itu. Ada ransum yang di tempatkan di tempat berbeda yang lebih bersih dan lebih besar.

“Ini untuk satu sel. Jadi tempatnya berbeda. Lebih besar. Kalau yang kecil sudah ada nasinya untuk satu orang,” terang Rahmad napi yang menjadi juru masak di LP Narkotika.

Rahmad menerangkan ada delapan teman lain yang membantunya memasak tiap hari. Jam mengantar makanan juga telah diatur yakni jam 7 untuk makan pagi, jam 12 untuk makan siang dan jam 3 untuk makan sore.

“Sehari anggaran kami hanya delapan ribu rupiah untuk satu orang. Jadi ya pintar-pintar kita memenuhi gisinya. Meski itu tidak mungkin. Ada jadual makan daging seminggu sekali meski dagingnya seujung kuku hehehe,” ujar Kalapas Narkotika Marwan Adli.

Menu tetap mereka selain tumis tempe adalah ikan asin. Ikan asin mudah dan murah didapat sehingga itu menjadi andalan juru masak LP.

Prosedur memasak ditiap LP diserahkan juru masak masing-masing dengan bahan makanan sama yang telah disediakan pegawai. Lihat saja ketika sore itu di LP Narkotika tempenya ditumis di LP Batu tempenya digoreng.

Makanan Tambahan

Makanan yang dijatah, menu yang minimalis membuat beberapa napi berupaya mendapatkan uang di LP untuk membeli makanan tambahan yang bisa didapat dikoperasi milik masing-masing LP.

Beruntunglah mereka yang berduit karena aturan yang tertulis dan tertempel di beberapa ruangan menyatakan pegawai hanya menerima uang tunai untuk penitipan pembelian barang dikoperasi.

Itulah yang menyebabkan beberapa napi membuat kerajinan batu cincin dan kapal dari kayu yang dijual kepengunjung dengan harga tinggi.

“Kami menitipkan barang kami pada teman yang sudah berada di LP terbuka. Mereka memiliki kesempatan untuk menjual barang kami. Meski dibayar murah oleh mereka. Tetap saja itu berarti karena bisa menambah uang untuk membeli makanan tambahan,” urai Rudi yang yang biasa menjual mobil-mobilan dari kayu seharga lima ribu rupiah.

Ada saatnya para napi ini makan-makanan rumah. Hal itu terjadi jika temannya satu sel mendapat kunjungan dari keluarga. Namun itu belum tentu setahun sekali. Jauhnya lokasi dan besarnya biaya menyebabkan para napi dengan masa hukuman lama ini jarang mendapat kunjungan dari kerabat.

“Saya hampir bebas bulan Maret nanti, dengan masa hukuman lima belas tahun penjara. Namun hanya tiga kali anak saya menengok. Setelah itu saya larang dia datang karena kedatangannya justru membuat saya remuk redam,” ujar Markus penghuni LP Terbuka.

Komunikasi lewat surat menjadi andalan para napi yang berasal dari luar Jawa. Rizal, Napi yang berasal dari Aceh mengaku sudah tiga kali menerima surat dari kerabatnya semenjak dia dipindah ke Nusakambangan setahun lalu.

“Sedih melihat teman lain mendapat kunjungan, uang serta tambahan makanan dari kerabat. Inginnya keluarga datang, tapi itu jelas tidak mungkin. Jadi ya dinikmati saja,” ungkap Rizal.

Memang banyak juga napi yang pasrah dalam menunggu kebebasan atau kematiannya mereka terlihat tanpa beban dengan membentuk kelompok musik dan kelompok lawak disana.

“Saya korban salah tangkap. Sudah separo lebih menjalani hukuman. Tak ada untungnya bersedih , lebih baik bermain musik dan bernyanyi,” ucap Norman lelaki separo baya yang sudah sepuluh tahun berada di Nusakambangan.



*****

Senin, 01 Februari 2010

AIDS


Perda mengenai penanggulangan AIDS Jateng memang telah disahkan, namun penderita HIV/AIDS terus meningkat. Menurut anggota DPRD Jateng Amik Amikawati, penanggulan HIV/AIDS bukan hanya bisa dilakukan dengan pemberlakuan Perda penanggulangan AIDS tersebut, namun lebih difokuskan dengan upaya untuk melakukan sosialisasi mengenai cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS agar masyarakat memahami dan tidak mengasingkan atau mengucilkan penderita HIV/AIDS tersebut.

“Penderita sering tidak tahu telah terjangkit virus HIV/AIDS tersebut, sehingga secara tidak sengaja menularkannya kepada pasangannya, sehingga HIV/AIDS akhirnya juga menjangkiti ibu rumah tangga dan anak-anak," kata Amik.


Menurut Amik, dari data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Tengah mencatat jumlah penderita HIV/AIDS di Jateng selama rentang waktu antara 1993 hingga 2009 lalu telah mencapai sebanyak 2.290 orang , dimana 287 orang diantaranya meninggal.

"Jumlah penderita HIV/AIDS di Jateng tersebut, terdiri dari 1.461 orang yang telah terjangkit virus HIV dan 829 orang merupakan penderita AIDS," kata Amik Amikawati.

Amik menambahkan keterlambatan diagnosis juga menjadi salah satu pemicu bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS di Jateng, sebab biasanya para penderita terindikasi setelah stadium lanjut, selain itu para penderita juga terlambat mendapatkan penanganan.

Kota Semarang termasuk kota terbesar yang memiliki jumlah tertinggi penderita HIV yakni 480 orang dan AIDS 95 orang. Sementara Banyumas di urutan kedua dengan jumlah penderita HIV sebanyak 189 orang dan AIDS sebanyak 45 orang.

Monyet


Ratusan monyet di tempat wisata Gua Kreo terancam punah. Mereka akan terusir dari habitatnya setelah pembangunan waduk jatibarang dimulai tahun ini. Selain itu APBD kota Semarang yang tak kunjung disahkan membuat anggaran makan untuk ratusan monyet itu tak bisa dicairkan.


“Sudah sebulan ini tak ada anggaran makan untuk monyet. Tapi saya kasihan dengan para monyet, jadi sementara saya ambilkan uang dari kantong pribadi,” terang Kepala Unit Pariwisata Gua Kreo Asron.

Ditahun 2009 lalu anggaran makan untuk para monyet yang berjumlah hampir 400 ekor ini sebanyak Rp.400.000 untuk satu bulan. Dan tahun ini diperkirakan naik meski tidak diketahui berapa jumlahnya.

“Idealnya kenaikan bisa seratus persen karena selama ini dengan uang sebesar itu kami hanya mampu memberi makan satu jenis makanan untuk mereka, dan monyet hanya mengharapkan makanan tambahan dari para pengunjung,” jelas Asron.

Pengunjung di Gua Kreo tidaklah banyak lokasinya yang jauh dan kurang terawat tidak menjadi daya tarik wisatawan. Padahal ongkos masuk yang hanya Rp.5000 bisa untuk menambah anggaran makan bagi monyet disana.

Kepunahan monyet disana memang sudah diambang batas, karena pembangunan waduk Jatibarang yang dibangun untuk mengendalikan banjir yang selalu melanda Semarang telah dimulai dan mendekati habitat monyet di Gua Kreo.

“Kami perkirakan tahun 2011 proyek ini selesai, saat ini lahan yang belum dibebaskan tinggal 30%. Dan kita yakin pembangunan ini tak akan mengusir monyet dari habitatnya karena pimpinan proyek akan meminta bantuan ahli monyet dari UGM agar monyet tidak terganggu,” ujar Ketua Komisi D Bidang Pembangunan DPRD Jateng Rukma Setyabudi.

Menghargai


Tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Rejeb tahun Saka, terus mengalami mimikri agar tetap hidup di masyarakatnya. Kini bukan lagi sekedar mitos yang mengikat tradisi itu,lambat laun mengalami transformasi pemikiran. Inilah festival pohon. Sebuah tradisi baru yang mencerminkan kearifan lokal, dengan menjadi “penumpang gelap” tradisi nyadran yang berbasis mistik.

Siang itu warga dusun Nongkosawit kecamatan Gunungpati Semarang sudah berkumpul di jalan protokol dusun tersebut. Sebuah panggung sederhana berukuran 3m x 4m berdiri kokoh dengan dekorasi seadanya.

Di sepanjang jalan, beberapa warga dengan pakaian adat jawa berkelompok-kelompok, menyesuaikan pakaian mereka. Di bagian tengah, kelompok laki-laki bersurjan tampak memanggul sebuah tandu yang dipayungi di sisi kanan dan kirinya. Tak seperti dalam film-film kungfu hongkong klasik, dimana tandu itu berisi seorang putrid cantik, namun di Nongkosawit ini, tandu tersebut ternyata “hanya” berisi sebuah bendhe dan sebuah bedhug. Bendhe adalah salah satu alat musik gamelan yang bernada pentatonis, sedangkan bedhug adalah alat musik yang menyerupai kendang.

Tak berapa lama, rombongan manusia dusun dengan pakaian macam-macam ini bergerak menyusuri jalan dusun. Sambil membunyikan tetabuhan dan bersorak sorai, barisan orang-orang udik ini mengawal dua buah tandu lain, yang berisi bibit-bibit aneka tanaman dan hasil pertanian. Tampak mengelilingi tandu-tandu ini, empat orang manusia muda yang berdandan layaknya kera dalam pewayangan.

Setiap kali mereka melewati mata air, sang pemimpin rombongan menghentikan pasukannya. Ia lari dan bersujud di mata air tersebut lalu memeriksa pepohonan bertype penyerap air seperti pohon beringin, gayam, preh, maupun ipik. Ketika mendapati ranting atau tangkai dalam pohon itu yang tidak sehat, maka ia komat-kamit membaca doa, kemudian memangkasnya. Termasuk saat menemu benalu.

Inilah festival pohon, sebuah kegiatan yang bukan termasuk budaya tradisi, namun menyusup dan ber-mimikri menjadi tradisi. Acara utama kegiatan ini sebenarnya Nyadran Dusun.

Menurut Widodo, ketua komunitas seni Kandanggunung yang memprakarsai festival pohon ini, dalam nyadran dusun biasanya kegiatan difokuskan untuk membersihkan dusun.

“Kami mencoba membuat terobosan dengan menambahkan acara festival pohon ini. Tujuannya agar tidak ada rantai yang putus antar generasi. Khususnya dalam hal interaksi dengan lingkungan. Yang utama adalah pembelajaran kepada anak-anak dan remaja tentang arti penting menjaga lingkungan,” kata Widodo.

Riyanto (19), salah satu anggota karang taruna setempat mengaku bahwa sejak kecil ia sudah dibiasakan ikut nyadran oleh keluarganya. Namun impresi yang didapat justru mengarah ke hal-hal mistik yang irasional.

“Itu membuat kami, anak-anak muda di dusun ini menjadi apatis. Masak kami harus menerima logika bahwa sebuah bendhe yang merupakan buatan manusia, memiliki kekuatan gaib. Itu kan tidak mungkin,” kata Riyanto.

Festival pohon

Hanya saja dalam lima tahun terakhir situasi berubah. Pelan namun pasti anak-anak dan remaja mulai bersedia bergabung. Itu terjadi sebagai akibat dimasukkannya unsure festival pohon sebagai salah satu mata acara resmi dalam nyadran kampong.

Para remaja dan anak-anak itu bukan lagi terlibat sebagai peserta aktif atau bahkan penonton karena keterpaksaan. Mereka kini sudah menjadi subyek dan secara aktif ikut mewarnai penyelenggaraan nyadran kampong.

“Ide membagi bibit tanaman kepada warga yang memiliki tanah kosong dan juga melakukan pembibitan adalah sebagian ide kecil kami,” kata Suwarti, seorang remaja putrid.

Widodo beserta Agus Sumanto dan Bagus Jati Waluyo, merupakan tokoh-tokoh yang ada dibalik transformasi mental warga Nongkosawit.

“Kami harus akui bahwa sampai sekarang di Nongkosawit ini ada dua keyakinan. Tapi jangan salah, mereka tetap bersatu untuk event nyadran dusun. Yang pertama adalah kelompok tua yang meyakini dan menganggap sacral kalau bendhe itu memiliki kekuata gaib. Sedangkan kelompok kedua, meski berpikir lebih rasional tapi mereka mampu memahami dan menghormati bendhe itu sebagai sebuah karya budaya. Jadi dalam hal ini tidak ada masalah,” kata Widodo.

Ide penyelenggaraan festival pohon itu, diawali dari kegelisahan anak-anak muda dusun itu ketika mendapati banyaknya pepohonan yang ditebang. Kegelisahan itu terakumulasi ketika enam mata air di dusun itu ikut mengering.

Anak-anak muda itu lalu mendatangi orang-orang tua untuk melakukan riset kecil-kecilan mengenai jenis-jenis pohon yang mampu menangkap air. Interaksi dengan komunitas seni kandanggunung yang mayoritas pegiatnya adalah warga nongkosawit ikut menjadi katalisator.

“Lalu muai enam tahun lalu, kami rutin mengadakan festival pohon sebagai bagian tak terpisahkan dari Nyadran Dusun. Saat itu kami memberi penghargaan kepada warga masyarakat yang sanggup menjaga pepohonan hingga mencapai usia tua,” kata Widodo.

Selain itu ada pula penghargaan kepada anak-anak yang sudah ikut peduli dan gemar bertanam pohon. Penghargaan lain diberikan kepada warga, yang memiliki dan merawat tanaman langka, tanaman obat, dan yang konsisten memperdalam ilmu tentang pepohonan.

Jika biasanya festival identik dengan lomba, komunitas seni Kandanggunung mencoba mengembalikan arti festival sebagai sebuah event berapresiasi. Sehingga penghargaan yang diberikan bukan berpa materi, namun berupa bibit pohon siap tanam berbagai jenis.

Penyelenggaraan festival pohon ini bukan berlangsung mulus setiap tahunnya. Factor pendanaan menjadi maslah utama. Namun melalui musyawarah warga, disepakati bahwa pihak sponsor dari luar bisa berperan dalam kegiatan tersebut.

“Nyadran Dusun harus tetap berjalan sebagaimana biasanya. Namun warga juga harus mulai mengerti makna-makna simbolik yang ada dibalik kegiatan tersebut. Bagaimanapun, nenek moyang kami selaku pendiri dusun tentu memiliki alasan tertentu yang kami yakin itu positif terkait penyelenggaraan Nyadran Dusun. Tugas kami adalah me-rasional-kan makna simbolik itu sebagai pembelajaran kepada rantai generasi berikutnya,” imbuh Sutarno, salah satu sesepuh dusun.

Dengan festival pohon, kini pemandangan dusun Nongkosawit lebih hijau, lebih sejuk udaranya, dan masyarakatnya juga menjadi lebih terbuka. Enam titik mata air yang ada, kini sudah mengalir sebagaimana mestinya. Semakin hari, lingkungan di sekitar mata air juga semakin hijau dan sejuk, oleh pepohonan berkarakter penangkap air.

Rasionalitas sebuah mitos gaib, yang mampu melahirkan kearifan local.