Jumat, 30 April 2010

Yang tersisa di Hari Nelayan 2010, Bantuan Paceklik Nelayan Tak Pernah Sampai

Peringatan hari nelayan sedunia, sama sekali tidak dirasakan para nelayan di Tambaklorok, mereka bahkan tidak tahu jika hari ini adalah harinya mereka.

“ Itu tidak penting. Memikirkan kehidupan kami saja sudah cukup sulit,” ujar seorang nelayan bernama Nur Alim yang hari ini tidak melaut karena tidak mempunyai biaya untuk memberi solar.

Setiap melaut mereka membutuhkan solar sedikitnya 20 liter jika berangkat pagi dan 40 liter jika melaut malam.

“ Biaya pembelian bahan bakar dan pendapatan ikan tidak lagi bisa berimbang. Kami kerap merugi karena hanya mendapatkan dua atau tiga ekor ikan setelah melaut berjam-jam,” kata Nur Alim.

Para nelayan itu berharap pemerintah memberikan perlakuan khusus kepada nelayan dalam pembelian bahan bakar .

“Selama ini, harga bahan bakar sama dengan masyarakat lain. Harusnya kami mendapat perlakuan khusus seperti potongan harga. Jika hal tersebut diterapkan kemungkinan kami tidak sering merugi,” harap Nur Alim.

Mahalnya biaya melaut membuat para nelayan Semarang tak lagi melaut hingga Sumatera atau Kalimantan bahkan jaring yang digunakanpun berbeda dengan lima tahun silam.

“ Dulu kami njaring tapi sekarang hanya bisa ngarat. Njaring itu jala dan troll-nya lebih besar kalau Ngarat itu peralatannya lebih kecil. Otomatis berpengauh dengan penghasilan. Karena kalau kita njaring di perairan sini nggak akan dapat apa-apa. Kalo di perairan Sumatera atau Kalimantan kita bisa dapat banyak tapi biaya bahan bakarnya juga banyak,” papar Nur Alim

Sebenarnya pemerintah kota Semarang sedikit berupaya memberi perhatian pada nelayan tambak lorok dengan mengucurkan dana paceklik untuk nelayan disetiap musim angin barat yang melarang nelayan melaut. Sayangnya dana sebesar Rp.500 ribu untuk setiap kelompok nelayan beranggotakan 50 orang tak pernah sampai ke tangan nelayan.

“Kami tidak pernah tahu ada dana seperti itu. Bantuan yang kami dapat hanya beras murah yang kami terima setiap menjelang lebaran,itupun harus membayar Rp.1500 per kilogramnya” tambah Supardi seorang nelayan lain.

Supardi berharap dalam memberikan bantuan, pemerintah melakukan sosialisasi terlebih dahulu agar para nelayan mengetahui adanya bantuan. Kredit-kredit murah juga menjadi harapan bagi nelayan tersebut.

“Apalagi bantuan, untuk informasi kredit murah bagi nelayan saja kami tidah pernah mendapatkannya,” tambah Supardi.

Kampung nelayan Tambaklorok yang menjadi tempat favorit para calon Walikota Semarang berkampanye tampaknya tak memberi anugerah bagi nelayan itu sendiri. Para Calon Walikota hanya membuat daerah kumuh tersebut terkesan lebih kumuh karena spanduk-spanduk berukuran besar yang terpasang mengotori sepanjang jalan Tambaklorok.

“Dimusim kampanye calon Walikota ini juga tidak ada bantuan apapun. Bantuan dari kampanye hanya sekali yang kita terima yaitu bantuan ketika kampanye presiden,” jelas Supardi lagi.

Dalam pantauan VHRMedia selain jalan dipenuhi spanduk-spanduk besar jalan disepanjang Tambak Lorok juga bergelombang dan berbatu. Padahal warga disana menyatakan perbaikan jalan baru saja dilakukan dua bulan lalu.

“Jalan yang berbatu hanya di tutup dengan tanah yang langsung terkikis jika kena air. Jadi ya jalan itu tidak berumur panjang,” tampah Supardi yang sudah 15 tahun menjadi nelayan.

Yang tersisa di Hari Nelayan Bantuan Paceklik Nelayan Tak Pernah Sampai

Peringatan hari nelayan sedunia, sama sekali tidak dirasakan para nelayan di Tambaklorok, mereka bahkan tidak tahu jika hari ini adalah harinya mereka.

“ Itu tidak penting. Memikirkan kehidupan kami saja sudah cukup sulit,” ujar seorang nelayan bernama Nur Alim yang hari ini tidak melaut karena tidak mempunyai biaya untuk memberi solar.

Setiap melaut mereka membutuhkan solar sedikitnya 20 liter jika berangkat pagi dan 40 liter jika melaut malam.

“ Biaya pembelian bahan bakar dan pendapatan ikan tidak lagi bisa berimbang. Kami kerap merugi karena hanya mendapatkan dua atau tiga ekor ikan setelah melaut berjam-jam,” kata Nur Alim.

Para nelayan itu berharap pemerintah memberikan perlakuan khusus kepada nelayan dalam pembelian bahan bakar .

“Selama ini, harga bahan bakar sama dengan masyarakat lain. Harusnya kami mendapat perlakuan khusus seperti potongan harga. Jika hal tersebut diterapkan kemungkinan kami tidak sering merugi,” harap Nur Alim.

Mahalnya biaya melaut membuat para nelayan Semarang tak lagi melaut hingga Sumatera atau Kalimantan bahkan jaring yang digunakanpun berbeda dengan lima tahun silam.

“ Dulu kami njaring tapi sekarang hanya bisa ngarat. Njaring itu jala dan troll-nya lebih besar kalau Ngarat itu peralatannya lebih kecil. Otomatis berpengauh dengan penghasilan. Karena kalau kita njaring di perairan sini nggak akan dapat apa-apa. Kalo di perairan Sumatera atau Kalimantan kita bisa dapat banyak tapi biaya bahan bakarnya juga banyak,” papar Nur Alim

Sebenarnya pemerintah kota Semarang sedikit berupaya memberi perhatian pada nelayan tambak lorok dengan mengucurkan dana paceklik untuk nelayan disetiap musim angin barat yang melarang nelayan melaut. Sayangnya dana sebesar Rp.500 ribu untuk setiap kelompok nelayan beranggotakan 50 orang tak pernah sampai ke tangan nelayan.

“Kami tidak pernah tahu ada dana seperti itu. Bantuan yang kami dapat hanya beras murah yang kami terima setiap menjelang lebaran,itupun harus membayar Rp.1500 per kilogramnya” tambah Supardi seorang nelayan lain.

Supardi berharap dalam memberikan bantuan, pemerintah melakukan sosialisasi terlebih dahulu agar para nelayan mengetahui adanya bantuan. Kredit-kredit murah juga menjadi harapan bagi nelayan tersebut.

“Apalagi bantuan, untuk informasi kredit murah bagi nelayan saja kami tidah pernah mendapatkannya,” tambah Supardi.

Kampung nelayan Tambaklorok yang menjadi tempat favorit para calon Walikota Semarang berkampanye tampaknya tak memberi anugerah bagi nelayan itu sendiri. Para Calon Walikota hanya membuat daerah kumuh tersebut terkesan lebih kumuh karena spanduk-spanduk berukuran besar yang terpasang mengotori sepanjang jalan Tambaklorok.

“Dimusim kampanye calon Walikota ini juga tidak ada bantuan apapun. Bantuan dari kampanye hanya sekali yang kita terima yaitu bantuan ketika kampanye presiden,” jelas Supardi lagi.

Dalam pantauan VHRMedia selain jalan dipenuhi spanduk-spanduk besar jalan disepanjang Tambak Lorok juga bergelombang dan berbatu. Padahal warga disana menyatakan perbaikan jalan baru saja dilakukan dua bulan lalu.

“Jalan yang berbatu hanya di tutup dengan tanah yang langsung terkikis jika kena air. Jadi ya jalan itu tidak berumur panjang,” tampah Supardi yang sudah 15 tahun menjadi nelayan.

Kamis, 18 Maret 2010

aduh...


Seorang anak tuna rungu dan tuna wicara, menjadi korban perkosaan yang dilakukan seorang TNI berpangkat serma yang telah berusia 45 tahun.
Meski telah mengaku menodai korban lebih dari sekali Tomo nama pelaku tersebut hanya dituntut setahun penjara oleh Pengadilan Militer Semarang.

"Majelis hakim tidak menggunakan UU Perlindungan anak, sehingga hukuman tidak maksimal," jelas Direktur LRCKJHAM Evarisan.

Entah kapan penegak hukum kita bisa menerapkan yuridis yang jelas dalam menegakan ketidakadilan terutama yang menimpa anak-anak. Karena pasti apa yang dialami anak-anak korban perkosaan akan menimbulkan trauma berkepanjangan.

Rabu, 10 Februari 2010

Nasib Pembantu


Sedikitnya 125 Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Semarang mengalami berbagai kekerasan yang menyebabkan luka fisik maupun psikis.

Dari data Perkumpulan Studi dan Advokasi Anak Indonesia (Perisai) dari 125 PRT yang bermasalah tersebut sebagian besar adalah PRT anak. Mereka menjadi korban dari majikan, mulai dari perkosaan, penyiksaan hingga tidak dibayar.

“Dari hasil monitoring kami terhadap para PRT di Semarang jumlah PRT anak disemarang memang relatif banyak. Karena para majikan juga lebih memilih PRT anak karena menganggap mereka bisa dibayar murah dan mudah dieksploitasi,” terang Yani seorang pendamping PRT dari Perisai.

Dari kasus-kasus yang menimpa PRT tersebut tidak banyak kasus yang tuntas hingga pengadilan. Apalagi jika kasus yang menimpa terkait dengan tidak dibayarkan hak mereka.

“Rata-rata mereka tidak mau repot. Sehingga ketika tidak dibayar hingga berbulan-bulan mereka memilih keluar ketimbang melaporkan masalah tersebut ke Kepolisian. Apalagi mereka dengan latar belakang pendidikan yang terbatas tidak memahami mesti melaporkan kepada siapa kasus yang menimpa mereka itu,” urai Yani.

Satu kasus perkosaan yang menimpa seorang PRT dibawah umur yang sampai ke pengadilan juga tidak mendapat keputusan yang adil karena majikan hanya divonis 7 tahun penjara.

“Di hari PRT 15 Februari mendatang kami sudah berencana untuk melakukan hearing dengan DPRD Jateng untuk meminta adanya perda yang melindungi PRT tersebut. Karena kami menganggap PRT merupakan bagian dari warga negara yang wajib untuk dilindungi
Karena rentan permasalahan,” tambah Ketua Perisai Fatah Ova Muria.

Lirik-lirikan.....


Banyaknya atlit Jateng yang dilirik propinsi lain membuat Pemerintah Propinsi Jateng kalang kabut dan memberi bunus pada atlit-atlit asal Jateng yang berprestasi dalam Sea Games tahun lalu. Tali asih yang dijanjikan dua bulan lalu sebesar Rp.641 Juta dikucurkan Februari ini . Ada 27 atlit di 16 cabang olah raga yang mendapatkan tali asih tersebut.

“ Ini hanya masalah waktu saja bukan karena lama dan cepat tapi karena saya memang sibuk dan baru sekarang mempunyai waktu untuk memberikan bonus yang kami janjikan,” ujar Gubernur Jateng Bibit Waluyo.

Bibit mengaku mengetahui banyak tawaran yang diterima para atlit berprestasi tersebut. Namun dia tidak bisa menjanjikan banyak hal untuk mereka. Dan itu disayangkan Suryo Agung Wibowo atlit lari yang mendapat bunus Rp.80 juta.

“Sebenarnya bukan masalah uang yang kita permasalahkan namun pembinaan. Sekarang bisa dilihat setelah saya pulang tak ada sama sekali pembinaan buat saya, ya sudah saya ke Jakarta. Begitu juga dengan adik-adik dibawah saya, sama sekali tidak ada pembinaan jadi semua berhenti sampai disini,” ujar Suryo.

Senada dengan Suryo, Trianingsih atlit Atletik asal Salatiga juga merasakan hal tersebut. Dan kini Trianingsih tengah berpikir untuk menerima tawaran Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.

“Untuk tempat latihan saja, saya sudah pernah memberi masukan bahwa tempat latihan kami sangat buruk, apalagi jika musim hujan seperti ini. Tapi tetap saja tidak ada perbaikan,” ungkap Trianingsih.

APBD Jateng tiap tahunnya selalu menganggarkan puluhan milyar untuk pembinaan para atlit.. Tahun ini saja APBD Jateng untuk KONI mencapai Rp.21 M.

Wimpi


Mengapa kau abaikan rasa
Hatimu telah membeku
Tak mempedulikan aku
……


Suara Wimpi yang merdu mengalun sendu bersama petikan gitar yang dimainkannya sore itu didepan teman-temannya sesama penghuni LP Batu Nusakambangan. Wimpi yang berasal dari Indonesia Timur menciptakan lagu tersebut persis ketika dia dipindah di Nusakambangan.

“ Ketika saya dipindah disini maituwa (pacar) tidak mempedulikan, jadi tercipta lagu ini. Sedih ya,” ucapnya malu-malu.

Wimpi tidak sendiri para napi lain merasakan hal yang sama, tidak dipedulikan pasangannya ketika harus menjalani hukuman di Nusakambangan beberapa diantaranya harus rela diceraikan pasangannya.

“Aku tak pernah ditengok keluargaku. Bahkan kemarin aku terima surat yang mengabarkan aku sudah diceraikan,” ucap seorang napi kasus pembunuhan yang harus menjalani hukuman 20 tahun.

Karena itu aktifitas di luar sel menjadi saat yang membahagiakan bagi para napi.
“Kami bisa berolah raga, main musik maupun berternak. Suka-suka kita mana yang akan kita pilih untuk mengisi waktu. Karena saat yang paling berat adalah malam hari. Jika siang tak ada kegiatan, malam tak bisa tidur dan itu sangat menyiksa,” tutur Andi seorang narapidana yang bertubuh penuh tato.

Ketika menengok di sel nomer 1 LP Batu, seorang warga negara Nigeria bernama Nick tengah asyik membaca buku.

“Ini kesibukanku, membaca buku dan olah raga. Tak ada kegiatan lainnya. Karena keluargaku tak bisa menengok kesini. Prosedurnya sangat sulit. Berbeda dengan mereka napi pribumi,” keluh Nick terpidana mati kasus narkotika.

Tak sedikit para napi yang hilang akal. Mereka bagai patung dengan pandangan kosong tanpa ada suara meski disapa.

“ Dia membunuh tiga orang, dipenjara, diceraikan dan tidak dipedulikan keluarganya, padahal hukuman mati tengah menanti” ujar seorang napi sambil menunjuk temannya yang membeku didepannya.

Tak ada psikolog atau psikater yang membantu para napi stress ini mereka didiamkan hingga masa hukuman mati dijalankan.

“ Pendampingan psikolog dan psikater baru akan dilakukan mendekati pelaksanaan hukuman mati. Itu memang prosedur kami, Dan sebenarnya aktifitas rohani bisa mereka jalani untuk mengurangi stress” ujar Hari seorang penjaga LP Narkotika.

Di Masjid satu-satunya milik LP Narkotika yang berada ditengah taman LP terlihat hanya lima belas orang yang khusuk mendengarkan khotbah seorang napi yang dianggap ustad di LP tersebut selebihnya memilih berolah raga di lapangan samping Masjid.

“Tak ada paksaan dalam beraktifitas. Jadi itu tergantung mereka,” jelas Hari lagi.

Pukul tiga sore, saat makan bagi para napi. Sebuah gerobak berwarna coklat yang telah kusam didorong dua napi berseragam biru. Ketika ditengok terlihat beberapa lalat hinggap diatas nasi yang ditaruh dalam tempat plastik yang sudah rusak.

Nasi berwarna kusam,Sop daun kol, tumis tempe dan kacang hijau menjadi menu mereka sore itu. Ada ransum yang di tempatkan di tempat berbeda yang lebih bersih dan lebih besar.

“Ini untuk satu sel. Jadi tempatnya berbeda. Lebih besar. Kalau yang kecil sudah ada nasinya untuk satu orang,” terang Rahmad napi yang menjadi juru masak di LP Narkotika.

Rahmad menerangkan ada delapan teman lain yang membantunya memasak tiap hari. Jam mengantar makanan juga telah diatur yakni jam 7 untuk makan pagi, jam 12 untuk makan siang dan jam 3 untuk makan sore.

“Sehari anggaran kami hanya delapan ribu rupiah untuk satu orang. Jadi ya pintar-pintar kita memenuhi gisinya. Meski itu tidak mungkin. Ada jadual makan daging seminggu sekali meski dagingnya seujung kuku hehehe,” ujar Kalapas Narkotika Marwan Adli.

Menu tetap mereka selain tumis tempe adalah ikan asin. Ikan asin mudah dan murah didapat sehingga itu menjadi andalan juru masak LP.

Prosedur memasak ditiap LP diserahkan juru masak masing-masing dengan bahan makanan sama yang telah disediakan pegawai. Lihat saja ketika sore itu di LP Narkotika tempenya ditumis di LP Batu tempenya digoreng.

Makanan Tambahan

Makanan yang dijatah, menu yang minimalis membuat beberapa napi berupaya mendapatkan uang di LP untuk membeli makanan tambahan yang bisa didapat dikoperasi milik masing-masing LP.

Beruntunglah mereka yang berduit karena aturan yang tertulis dan tertempel di beberapa ruangan menyatakan pegawai hanya menerima uang tunai untuk penitipan pembelian barang dikoperasi.

Itulah yang menyebabkan beberapa napi membuat kerajinan batu cincin dan kapal dari kayu yang dijual kepengunjung dengan harga tinggi.

“Kami menitipkan barang kami pada teman yang sudah berada di LP terbuka. Mereka memiliki kesempatan untuk menjual barang kami. Meski dibayar murah oleh mereka. Tetap saja itu berarti karena bisa menambah uang untuk membeli makanan tambahan,” urai Rudi yang yang biasa menjual mobil-mobilan dari kayu seharga lima ribu rupiah.

Ada saatnya para napi ini makan-makanan rumah. Hal itu terjadi jika temannya satu sel mendapat kunjungan dari keluarga. Namun itu belum tentu setahun sekali. Jauhnya lokasi dan besarnya biaya menyebabkan para napi dengan masa hukuman lama ini jarang mendapat kunjungan dari kerabat.

“Saya hampir bebas bulan Maret nanti, dengan masa hukuman lima belas tahun penjara. Namun hanya tiga kali anak saya menengok. Setelah itu saya larang dia datang karena kedatangannya justru membuat saya remuk redam,” ujar Markus penghuni LP Terbuka.

Komunikasi lewat surat menjadi andalan para napi yang berasal dari luar Jawa. Rizal, Napi yang berasal dari Aceh mengaku sudah tiga kali menerima surat dari kerabatnya semenjak dia dipindah ke Nusakambangan setahun lalu.

“Sedih melihat teman lain mendapat kunjungan, uang serta tambahan makanan dari kerabat. Inginnya keluarga datang, tapi itu jelas tidak mungkin. Jadi ya dinikmati saja,” ungkap Rizal.

Memang banyak juga napi yang pasrah dalam menunggu kebebasan atau kematiannya mereka terlihat tanpa beban dengan membentuk kelompok musik dan kelompok lawak disana.

“Saya korban salah tangkap. Sudah separo lebih menjalani hukuman. Tak ada untungnya bersedih , lebih baik bermain musik dan bernyanyi,” ucap Norman lelaki separo baya yang sudah sepuluh tahun berada di Nusakambangan.



*****

Senin, 01 Februari 2010

AIDS


Perda mengenai penanggulangan AIDS Jateng memang telah disahkan, namun penderita HIV/AIDS terus meningkat. Menurut anggota DPRD Jateng Amik Amikawati, penanggulan HIV/AIDS bukan hanya bisa dilakukan dengan pemberlakuan Perda penanggulangan AIDS tersebut, namun lebih difokuskan dengan upaya untuk melakukan sosialisasi mengenai cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS agar masyarakat memahami dan tidak mengasingkan atau mengucilkan penderita HIV/AIDS tersebut.

“Penderita sering tidak tahu telah terjangkit virus HIV/AIDS tersebut, sehingga secara tidak sengaja menularkannya kepada pasangannya, sehingga HIV/AIDS akhirnya juga menjangkiti ibu rumah tangga dan anak-anak," kata Amik.


Menurut Amik, dari data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Tengah mencatat jumlah penderita HIV/AIDS di Jateng selama rentang waktu antara 1993 hingga 2009 lalu telah mencapai sebanyak 2.290 orang , dimana 287 orang diantaranya meninggal.

"Jumlah penderita HIV/AIDS di Jateng tersebut, terdiri dari 1.461 orang yang telah terjangkit virus HIV dan 829 orang merupakan penderita AIDS," kata Amik Amikawati.

Amik menambahkan keterlambatan diagnosis juga menjadi salah satu pemicu bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS di Jateng, sebab biasanya para penderita terindikasi setelah stadium lanjut, selain itu para penderita juga terlambat mendapatkan penanganan.

Kota Semarang termasuk kota terbesar yang memiliki jumlah tertinggi penderita HIV yakni 480 orang dan AIDS 95 orang. Sementara Banyumas di urutan kedua dengan jumlah penderita HIV sebanyak 189 orang dan AIDS sebanyak 45 orang.